Pola Makan Sehat Ala Rasulullah
Kesederhanaan Rasulullah dalam Masalah Makanan
Kalau kita memperhatikan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang urusan makanan, kita dapati potret kesederhanaan yang luar biasa dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam urusan makanan, beliau tidaklah berlebih-lebihan dan hanya meminta rizki makanan secukupnya. Hal ini sebagaimana doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا
“Ya Allah, jadikan rizki keluarga Muhammad berupa makanan yang secukupnya.” (HR. Muslim no. 1055)
Berbeda dengan kita umumnya yang makan 2-3 kali sehari sampai kenyang, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru merasakan kenyang tiap 2-3 hari sekali. Kondisi ini diceritakan oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan mengatakan,
ما شبع آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ من خبزِ شعيرٍ ، يومَين مُتتابِعَينِ ، حتى قُبِضَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ
“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum dalam dua hari berturut-turut, sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” (HR. Muslim no. 2970)
Dalam riwayat yang lain, kondisi tidak kenyang tersebut berlangsung sampai tiga hari,
مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ قَدِمَ المَدِينَةَ، مِنْ طَعَامِ بُرٍّ ثَلاَثَ لَيَالٍ تِبَاعًا، حَتَّى قُبِضَ
“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan burr (gandum kasar) dalam tiga hari berturut-turut, sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” (HR. Bukhari no. 6454 dan Muslim no. 2970)
Terkadang, makanan berupa roti gandum tersebut dicampur dengan semacam kuah. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan,
ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ
“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai dia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423)
Adapun yang dimaksud idam, dijelaskan dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith,
ما يُسْتَمْرَأُ به الخبز
“sesuatu (makanan atau kuah) yang biasa digunakan untuk membantu menelan roti.”
Terkadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan sama sekali karena memang tidak punya makanan. Dan pada kondisi semacam itu, beliau pun kemudian berpuasa sunnah.
Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku pada suatu hari, “Wahai ‘Aisyah, apakah Engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki makanan sedikit pun (untuk dimakan).” Beliau lalu berkata, “Kalau begitu, aku akan puasa hari ini.” (HR. Muslim no. 1154)
Kondisi semacam ini bisa berlangsung berhari-hari hingga sebulan. Hal ini sebagaimana penuturan ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ يَأْتِي عَلَيْنَا الشَّهْرُ مَا نُوقِدُ فِيهِ نَارًا، إِنَّمَا هُوَ التَّمْرُ وَالمَاءُ، إِلَّا أَنْ نُؤْتَى بِاللُّحَيْمِ
“Pernah kami melalui suatu bulan yang ketika itu kami tidak menyalakan api sekali pun. Yang kami miliki hanyalah kurma dan air, kecuali ada yang memberi kami hadiah berupa potongan daging kecil untuk dimakan.” (HR. Bukhari no. 6458)
Kemungkinan yang lebih mendekati dari hadits-hadits di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit makan bukan karena sengaja ingin diet, akan tetapi karena memang demikian sederhananya rizki yang Allah Ta’ala karuniakan kepada beliau yang banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dari hal ini. Di antara indikasinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, apakah ada makanan? Artinya, kalau ada makanan, tentu akan Nabi makan.
Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan akan berpuasa, tidak lama kemudian, ‘Aisyah diberi hadiah berupa makanan -atau dengan redaksi: seorang tamu mengunjungi ‘Aisyah-.
‘Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali, saya pun berkata, “Ya Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita makanan dan aku simpan untukmu.”
Beliau bertanya, “Makanan apa itu?”
Saya menjawab, “Roti khais (yakni roti yang terbuat dari kurma, minyak samin, dan keju).”
Beliau bersabda, “Bawalah kemari.”
Maka roti itu pun aku sajikan untuk beliau. Lalu beliau makan, kemudian berkata,
قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا
“Sungguh dari pagi tadi aku puasa.” (HR. Muslim no. 1154)
Dalam lanjutan hadits di atas, jelas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan puasanya ketika ada makanan. Kalau maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk diet, tentu Nabi tetap melanjutkan puasa meskipun ada makanan. Sehingga sekali lagi, makna yang lebih mendekati dari hadits-hadits di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jarang makan karena keterbatasan dan kondisi ekonomi yang sederhana yang Allah tetapkan untuk beliau, bukan karena sengaja ingin diet demi kesehatan tubuh.
Demikian juga jika kita melihat keterangan para sahabat Nabi yang mereka sangat memahami kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana atsar dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu, dia mengatakan,
ألَسْتُم في طعامٍ وشرابٍ ما شِئْتُم ؟ لقد رأَيْتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وما يجِدُ مِن الدَّقَلِ ما يملَأُ به بطنَه
“Bukankah kalian senantiasa memiliki makanan untuk dimakan dan minuman untuk diminum sesuka kalian? Sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau tidak mendapati sekedar daql (kurma yang buruk kualitasnya) untuk memenuhi perutnya.” (HR. Muslim no. 2977)
Di sini An-Nu’man bin Basyir menasihati para sahabat untuk senantiasa bersyukur atas kecukupan rizki berupa makanan dan minuman, dengan mengambil ibrah dari kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka jelas sekali dari hadits ini bahwa para sahabat memahami bahwa keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkadang tidak mendapati makanan atau jarang sekali mendapati perutnya kenyang oleh makanan ini bukan karena beliau bersengaja atau untuk melakukan metode diet atau untuk mempraktekkan gaya hidup sehat tertentu. Andaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersengaja melakukan itu karena mempraktekkan metode diet atau semisalnya, tentu An-Nu’man bin Basyir tidak akan menjadikannya sebagai ibrah.
Dan dari hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu ini juga, kita memahami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan itu semua bukan dalam rangka qurbah (ibadah) dan beliau tidak mengajarkan para sahabatnya untuk memiliki pola makan yang sama seperti beliau. Nyatanya, An-Nu’man bin Basyir mengatakan kepada para sahabat, “Bukankah kalian senantiasa memiliki makanan untuk dimakan dan minuman untuk diminum sesuka kalian?”
Artinya, umumnya para sahabat berkecukupan dalam masalah makanan dan minuman, bahkan mereka makan setiap hari. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Andaikan apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam rangka qurbah dan bernilai ibadah atau merupakan pola maka terbaik, maka tentunya para sahabat ridhwanullah ‘alaihim ajma’in sudah berlomba-lomba untuk menirunya.
Comments
Post a Comment